Sistem SKS Haruskan Guru Pahami Kemampuan Siswa

Penerapan sistem Satuan Kredit Semester (SKS) pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat di Kota Yogyakarta dan kota-kota lainnya, menuntut konsekuensi keterlibatan guru-guru secara penuh pada pribadi-pribadi siswa.

Sistem SKS Haruskan Guru Pahami Kemampuan Siswa

"Justru dengan sistem SKS itu, guru tidak bisa melepaskan murid-murid SMP untuk menentukan pilihannya sendiri," kata pengamat pandidikan, Prof (Emeritus) Wuryadi, di Yogyakarta, Jumat (30/6).

Meski mengaku belum mendapatkan rencana resmi penerapan sistem SKS, Wuryadi mengatakan, jika mengacu pada pengertian sistem SKS, artinya pembelajaran tidak terikat pada batas waktu tiga tahun, dan akan sangat tergantung pada jumlah kredit yang dikumpulkan anak.

"Dari satu sisi menguntungkan, tetapi ada hal yang perlu diperhatikan yakni dibutuhkan keterlibatan efektif para guru, karena murid SMP tidak bisa dilepaskan begitu saja, silahkan mengambil mata pelajaran yang diinginkan, saya kira tidak begitu, tetapi harus dengan bimbingan yang efektif," ujarnya.

Selaian itu, para guru juga harus memiliki data mengenai tiap-tiap murid yang dihadapi, sebab dalam satu kelas, muncul keragaman siswa. "Jadi kalau memang kemampuan muridnya tidak mencukupi, tidak boleh dipaksakan dengan percepatan SKS," tegasnya.

Guru dan sekolah, kata Wuryadi, akhirnya harus memahami keberagaman siswa secara detail, karena murid SMP tidak bisa disamakan dengan mahasiswa yang sudah memiliki kehendak dan kedewasaan.

"Guru harus mampu memberi penilaian siswa secara akurat, karena siswa SMP belum bisa secara mandiri melihat dirinya sendiri. Gurunya yang harus aktif. Kalau sistem melihat keragamam belum bisa dilakukan, sistem SKS ini tidak akan berhasil," jelasnya.

Sekolah juga dituntut mengubah pandangan dari kelas yang klasikal atau persamaan antar siswa, menjadi khusus. Dengan sistem SKS itu, kelas harus dipandang sebagai kumpulan dari anak-anak yang beragam, berarti perlakuannya juga harus beragam.

"Kalau sistem ini dikaitkan dengan sekolah di negara lain, memang sistem ini diharapkan akan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, sekali lagi, kemamuan anak tidak sama dan harus diperlakukan berbeda," tegasnya.

Meski begitu, Wuryadi juga mengatakan, meski sistem SKS dianggap lebih baik, guru tetap harus jeli melihat kemampuan anak, baik bakat, maupun minatnya. Terlebih lagi, bagi Wuryadi, guru tetap harus kreatif memunculkan program-program yang mampu menumbuhkan daya koorporatif dan kolaboratif antar siswa.

"Prinsip kita adalah gotong-royong, maka walau menggunakan sistem pendidikan yang melihat siswa secara indivisual, tetap harus dibuat kegiatan kerja-sama antar murid, walau kita melihat setiap murid berbeda," ujarnya.

Menurut Wuryadi, sistem SKS bagi siswa SMP ini memang belum diatur secara teknis di dalam Undang-undang Sisdiknas.

"Belum ada sistem SKS secara teknis di atur dalam UU Sisdiknas. Walaupun secara prinsip diakomodasi, karena tujuan pendidikan menurut UU memang individual. Tetapi itu yang malah kita kritisi, jadi menurut UU tujuan pendidikan itu justru parsial, individu," katanya.

Meski demikian, rumusan tujuan pendidikan individual tersebut, tambah Wuryadi, tidak harus menjadikan murid-murid berwatak individual. Perlakuan yang diberikan bisa secara individu, namun harus mengedepankan cara kooperatif dan kolaboratif, agar tujuan berbangsa bisa tercapai.

"Anak memiliki kecerdasan intelektual, emosional, spriritusal, kreatif, kritis, yang berbeda-beda. Kecerdasan koraboratif harus menjadi acuan di sekolah, karena itu guru harus kreatif," pungkasnya.

Sumber: beritasatu.com

Powered by Blogger.