Miris, Guru-guru di Sekolah ini Hanya Digaji Rp. 1.000 per Hari
Suasana di Desa Tik Teleu, Kecamatan Pelabai, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu ini begitu asri. Pemandangan sawah, kolam ikan, dan gemericik air bisa dirasakan di tempat ini, Selasa (9/1/2018).
Tepat di sudut desa yang jauh dari Ibu Kota itu terdapat satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) Zikir Pikir yang dirintis pemuda-pemuda setempat yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi, mulai dari gelar strata satu hingga master.
Sekolah yang dibangun pada 2011 itu terlihat memprihatinkan. Separuh gedungnya terbuat dari papan dan semen, sedangkan plafonnya rusak di beberapa bagian. Gedung tersebut merupakan pinjaman dari pemerintahan desa. Terdapat 38 siswa dan delapan guru sebagai tenaga pengajar.
Dwifa, seorang guru perempuan dan pendiri sekolah, menyebutkan, sekolah itu dibangun atas dasar rasa khawatir akan tingginya angka putus sekolah di daerah itu.
"Jarak sekolah jauh dari desa, angka putus sekolah dari SD menjadi tinggi. Kami akhirnya bersepakat mendirikan sekolah madrasah," kisahnya. Dua tahun berdiri, pada 2011 dan 2012 terdapat 14 tenaga pengajar.
Selama dua tahun, 14 guru tidak digaji sama sekali.
"Dua tahun pertama tidak ada gaji. Cuma mengajar. Alhamdulillah bertahan," ujar Dwifa.
Lalu, masuk 2013 hingga 2015, barulah para guru mendapatkan gaji dari Kementerian Agama. Dananya diambil dari Bantuan Operasional Siswa (BOS).
"Tahun 2013 hingga 2015 gaji diterima per bulan sekitar Rp. 30.000 dibayar per tiga bulan. Tiga bulan terima Rp. 90.000. Gaji sebesar itu berlanjut hingga 2016, barulah naik menjadi Rp. 100.000 per bulan," katanya.
Dwifa mengatakan, selain menjadi guru di sekolah itu, ia bersama suami memiliki pekerjaan lain, yaitu sebagai petani.
"Menjadi guru di sini merupakan bentuk kekhawatiran kami atas kondisi kampung halaman. Jadi, enggak mikir gajilah. Untuk kehidupan sehari-hari, saya dan suami menjadi petani," ucapnya.
Hiriani, guru lainnya, menyebut bahwa ia merupakan guru yang paling yunior karena baru enam bulan bergabung di sekolah itu. Ia mengaku menjadi guru di sekolah itu atas panggilan hatinya terhadap kampung halaman.
"Saya hanya berharap pengetahuan yang saya miliki dari perguruan tinggi dapat saya bagi buat remaja di desa," katanya.
Ia tidak mempersalahkan masalah gaji yang hanya Rp. 100.000 per bulan.
Hal yang sama juga dijelaskan Sukamdani, Kepala Sekolah MTs Zikir Pikir. Sukamdani memiliki gelar master pada bidang agama Islam. Tawaran menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi pernah ia terima, tetapi ia lebih memilih kembali ke kampung halaman.
"Angka putus sekolah, ancaman kenakalan remaja, dan kejahatan akibat kurangnya pendidikan agama sebagai pertimbangan kami mendirikan sekolah agama di desa," ucapnya.
Sukamdani menyebutkan, saat ini sekolah itu memiliki tanah sekitar 1 hektar sebagai wakaf dari masyarakat.
Sumber: jabar.tribunnews.com