Benarkah Sistem Pendidikan di Indonesia Kacau?

Beberapa waktu lalu viral sebuah video seorang artis sekaligus host sebuah acara di televisi swasta yang menjelaskan bahwa sekolah di Indonesia itu ibarat penjara bagi anak-anak. Dia menjelaskan bahwa setiap anak itu membawa keunikan masing-masing, sedangkan di sekolah, anak dipaksa untuk menguasai semua hal. Bagaimana mungkin seekor gajah disuruh untuk memanjat pohon dan seekor kera disuruh untuk terbang? Demikianlah artis tersebut menganalogikan sistem pendidikan di Indonesia.

Benarkah Sistem Pendidikan di Indonesia Kacau?

Tidak sedikit orang tua bahkan guru yang terpengaruh dengan video tersebut. Tidak ada salahnya apabila mereka menyikapi dengan bijak, namun kebanyakan mereka menurunkan kepercayaan kepada sekolah. Akibatnya sekolah menjadi kambing hitam bagi kegagalan si anak.

Sebenarnya apa yang viral dalam video tersebut sesuai dengan teori pendidikan yang dicetuskan oleh Profesor Gadner tentang multiple intelligence atau teori kecerdasan majemuk, bahwa kecerdasan itu tidak hanya bidang matematika saja namun ada kercerdasan bahasa, kecerdasan seni, dan lainnya. Seorang anak membawa keunikan dan kecerdasan masing-masing. Teori ini banyak dipakai para motivator dan narasumber pendidikan.

Belum lama ini narasumber-narasumber neurosain mendengungkan sebuah teori yang menentang teori Gadner tentang multiple intelligence. Membuka pikiran kita tentang ketidakkekalan sebuah teori. Teori yang dimaksud adalah teori repetisi sekaligus membantah teori multiple intelligence.

Teori repetisi atau teori pengulangan ini sudah dibuktikan dengan riset. Riset pertama dilakukan kepada anak yang baru lahir. Setiap hari raket disandingkan di samping bayi tersebut hingga usia balita. Orang tuanya selalu menceritakan tentang kehebatan pemain-pemain bulu tangkis. Setiap hari si anak dikenalkan dengan permainan ini. Diulang dan diulang setiap hari. Yang terjadi saat dia sekolah, si anak sangat pandai bermain bulu tangkis.

Riset kedua dilakukan oleh narasumber kepada kedua anaknya. Sejak kecil dia memperlakukan anaknya secara berbeda, anak pertama dikenalkan dengan jilbab dan diarahkan untuk memakai jilbab. Anak kedua sama sekali diberi kebebasan dan tidak diwajibkan memakai jilbab. Saat mereka dewasa anak pertama menjadi anak yang taat beragama dan anak kedua menjadi anak yang cenderung liberal.

Tidak menutup kemungkinan anak-anak memiliki semua kecerdasan. Bukankah kita sering mendengar ada anak yang pandai di segala bidang? Atau sering kita sebut multi talenta. Di belakang anak-anak multi talenta ini ada orang tua yang sabar mengulang-ulang semua kecerdasan kepada anaknya. Lantas bagaimana orang tua atau guru bisa mencetak anak seperti itu?

Teori ini memang lebih sesuai diterapkan pada ranah psikomotorik seperti olahraga dan gerak fisik lainnya. Namun tidak ada salahnya apabila kita terapkan pada ranah kognitif afektif. Kunci agar teori repetisi ini berhasil hanya dua, metode dan kesabaran. Guru maupun orang tua di rumah harus memiliki multi metode. Jika tidak diiringi metode yang beragam, maka anak akan bosan dan ilmu yang didapat sebatas hafalan.

Saat ini pencetus teori multiple intelligence yaitu Prof. Gadner sedang mendapatkan beberapa kritikan terkait teorinya tersebut seiring dengan munculnya teori repetisi. Benang merah yang bisa kita ambil adalah kita tidak boleh mendewakan sebuah teori. Yang kedua, kita semakin optimis bahwa tidak ada yang salah dengan kurikulum kita. Agar berhasil, kita harus sabar merepetisi sebuah ilmu kepada anak. Tidak menutup kemungkinan seorang anak dapat memiliki semua kecerdasan dengan teori repetisi. Hanya saja repetisi yang kita lakukan harus dibarengi dengan metode yang menyenangkan untuk anak.

Sumber: bernas.id

Powered by Blogger.