Menyikapi Murid Nakal, Dibina atau Dibinasakan?
Setiap sekolah pasti memiliki murid-murid nakal. Keberadaan mereka terkadang dianggap sebagai pengganggu dan sering kali ingin disingkirkan. Yah, di satu sisi, mereka nyatanya memang menjengkelkan, tetapi di sisi lain mereka perlu perhatian. Disaat jam pelajaran, mereka biasanya menjadi sumber keributan yang kadangkala menguji kesabaran sang guru. Mereka pun jarang mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR) dan hari-hari mereka dipenuhi dengan aktivitas masa bodoh. Teman-temannya pun jarang yang respect dan lebih suka menghindar. Anehnya, murid nakal tetap saja punya pengaruh dan terkadang menjadi bos atau pemimpin di kelompoknya. Mereka juga sering kali menjadi pelopor atau inisiator untuk meninggalkan pelajaran alias bolos. Pelanggaran demi pelanggaran selalu saja dilakukan, meski berulang kali memperoleh wejangan dari guru-guru, terutama yang menangani Bimbingan dan Konseling (BK). Tidak sedikit guru yang mulai stres dibuatnya. Pada beberapa kasus, bahkan ada guru yang sampai menangis dan memohon-mohon kepada kepala sekolah untuk tidak mengajar di kelas murid-murid nakal.
Kasus kenakalan murid-murid bukan saja dihadapi di negara-negara berkembang, di negara maju pun kasus serupa banyak terjadi. Di antara anak-anak cerdas, pintar, penurut, pasti ada anak-anak yang sedikit menyimpang dari keinginan para guru. Jika dikembalikan ke judul artikel ini, untuk menyikapi mereka, apa yang mesti dilakukan? Murid nakal perlu dibinakah? Atau dibinasakan atau dikeluarkan saja dari sekolah?
Sekali lagi, untuk menemukan solusi atas salah satu persoalan di dunia pendidikan ini, kita perlu melihatnya dari berbagai sudut pandang. Tentu, kita sudah pahami bahwa setiap orang memiliki watak, lingkungan, kepribadian, dan bimbingan dari orang tua yang berbeda-beda. Jadi, apa yang tampak di sekolah, sedikit banyak adalah bawaan atau cerminan sikap yang diserapnya dari rumah dan lingkungan.
Sayangnya, tidak semua guru menyikapinya dengan bijak. Mereka tidak mau tahu, murid-murid yang tidak mengikuti pelajaran dengan baik, atau tidak mengerjakan tugas tepat waktu, atau yang suka bolos mesti dihukum atau dimarahi. Niat guru bersangkutan sangat baik, yaitu untuk mendidik dan mengarahkan murid-murid nakal agar menjadi pribadi yang baik. Namun pertanyaannya adalah, apakah dengan memarahi atau menghukum, mereka lantas menjadi murid-murid baik dan penurut keesokan harinya? Jawabannya tentu saja tidak. Ada banyak faktor yang mempengaruhi.
Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah kadangkala ada murid yang sesungguhnya tidak nakal. Cuma karena pernah melakukan pelanggaran tata tertib sekolah satu kali, lalu dicap "nakal" oleh gurunya. Imbasnya, sang murid memilih untuk acuh tak acuh terhadap pelajaran dan cap "nakal" dibawanya ke dalam perangainya di kelas. Siapa yang salah? Dalam hal ini, murid nakal tercipta dari stigma guru yang salah dalam menyikapi murid-murid yang kebetulan tidak taat aturan. Lagi pula, murid-murid adalah pribadi yang masih labil. Jadi, wajar jika sekali waktu ia salah atau tidak taat tata tertib sekolah. Intinya, apapun yang mereka lakukan, guru mesti menyikapinya dengan perlakuan yang sejuk, yaitu sikap yang tidak menyakiti hati atau menurunkan semangat.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan oleh guru adalah bagaimana background si murid nakal. Kenakalan tidak selamanya menjadi perangai sejak lahir. Hal ini kebanyakan terbentuk dari lingkungan. Bisa jadi sang murid tersebut nakal karena ia adalah korban didikan orang tua yang keliru. Atau bisa juga karena ia adalah anak dari keluarga broken home. Apakah guru pernah memikirkan hal ini? Bagaimana sulitnya melewati hari-hari biasa dengan normal dengan ditemani tekanan batin yang begitu mengganggu di rumah?
Di kasus lain, ada juga murid nakal, bukan karena problem ekonomi, melainkan karena orang tua mereka sibuk bekerja dan jarang berkumpul bersama. Si anak memang dimanjakan dengan materi. Apapun yang ingin ia beli, semua disiapkan. Bahkan, ia pun bebas mau kemana saja tanpa dipantau oleh orang tua. Imbasnya, sang anak tidak pernah merasakan kedamaian dan hangatnya bersama ayah dan ibunya. Ia tidak pernah ditemani mengerjakan tugas atau main bola di halaman rumah. Atau jika ia perempuan, tak pernah sekalipun diajak ibunya belajar masak di dapur. Hari-harinya hanya ditemani oleh asisten rumah tangga yang terbatas dalam hal mendidik. Akhirnya, di sekolah ia tumbuh menjadi anak yang selalu mencari perhatian, kadang kala tidak mengerjakan PR atau suka mengganggu teman-temannya. Akibatnya, ia selalu kena sanksi dan dimarahi padahal tidak ada yang pernah mengira jika dibina dengan baik, si anak ini akan menjadi pribadi yang sangat baik.
Kasus serupa yang pernah diceritakan oleh rekan saya, ada anak yang sering mengantuk di kelas, jarang mengerjakan PR, dan sukanya bermalas-malasan. Si murid pun di cap "nakal" oleh sang guru. Begitu seterusnya, hingga ia menjelang kelulusan. Tahu-tahu, si murid yang dianggap nakal ini ternyata sejatinya tidak nakal. Ia ingin belajar normal seperti murid-murid lain sebenarnya. Akan tetapi, sepulang sekolah, ia ikut ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan, dan di subuh hari menjelang ke sekolah, ia menemani ibunya jualan ikan di pasar. Ia pun tidak punya waktu untuk belajar dan sering terlambat masuk sekolah.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, sebagai guru kiranya kita perlu melihat ini dari berbagai kemungkinan. Jika ada murid-murid yang bermasalah, jangan cepat-cepat menggelarinya dengan stigma negatif misalnya anak nakal, tukang bolos, pemalas, dan sebagainya. Hal itu bukannya membina, melainkan membinasakan potensi anak berkembang lebih baik.
Para guru justru harus menambah volume perhatian mereka ke murid-murid. Coba kunjungi murid-murid tersebut ke rumahnya atau ke lingkungannya. Sesekali berbincanglah dengan orang tuanya. Atau usulkan ke sekolah untuk mengadakan event-event pertemuan antara orang tua dan guru-guru di sekolah. Jalinlah komunikasi positif antara semua pihak untuk menempatkan anak menjadi posisi yang diuntungkan. Alasan utamanya adalah karena bagaimana pun nakalnya anak, sejatinya ia masih bisa diubah, karena masa-masa sekolah adalah masa-masa dirinya menemukan jati diri terbaik untuk kehidupannya.
Mungkin saja hari ini, seorang murid dicap "nakal", kelak ia sukses menjadi seorang atlet ternama, pengusaha kaya, tentara, polisi, dokter, atau sopir angkot yang tiap hari mengantar jemput para guru dan murid pulang pergi sekolah. Bisa jadi ia pun akan menjadi orang tua yang memiliki anak-anak hebat yang tidak lagi dicap sebagai murid "nakal". Semua mungkin terjadi. Jadi, berhentilah menutup kemungkinan itu. Perlakukan semua murid dengan bijaksana. Jangan pernah marah, membentak, atau mengeluarkan kata dan sikap yang melukai hati murid. Guru harus selalu menjadi pribadi yang inspiratif, bagaimanapun feedback murid-murid terhadapnya.
Sumber: inirumahpintar.com